Mimpi Keempat


Oleh: Edy Saputro Cahyo

R
oda berputar dengan laju yang cukup cepat. Mengikuti langkah kaki yang tiada hentinya mengayuh sepedah. Keringat seolah tiada hentinya menguak di pori-pori. Bagai keluhan air mata tangis yang tiada henti. Kuat pondasi sejak dini merangkak tiada lelah. Rumput-rumput pagi membuka embun pada setiap tangkainya. Wajah ini akan selalu terbawa kemana pun pergi. Hinggap dari satu tempat ke tempat lain. Membaur dengan langganan dan orang baru. Compang camping penutup aurat berbau kecut karena keringat. Nan abadi pengabdian yang sempurna. Sebelum lampu alam muncul, peluk keluh merapat dengan sang kuasa. Meminta dengan iringan do’a senada.
            Hidup miskin dan kekurangan serba salah membuat Ridwan tidak putus asa dalam menjalani kehidupan. Berbaur dengan tetangga selalu baik dan sangat mudah dalam bergaul dengan teman-teman. Kehidupan di desa yang sangat jauh dari pusat kota, segi teknologi dan pendidikan membuat dirinya tidak putus asa. Keinginan sekolah yang tinggi diidamkannya hanya dalam impian yang tak nyata. Lulus SD dianggap mimpi, bagi anak seorang loper koran dan pengantar katering. Sekolah hanya modal do’a dan usaha. Keuangan bergantung pada yang kuasa. Anggan-anggan sekolah bukan di penak Ridwan, namun di penak Simbok Darni.
            Hanya dengan membantu membersihkan latar depan rumah dan belakang rumah. Menanak nasi, membuat sayuran, dan mencuci baju kotor Simbok Darni. Sungguh tidak ada rasa malu dan jijik. Perempuan apa laki-laki. Pikiran Ridwan mengada-ada saja, menganggap dirinya sebagai perempuan. Yang seharusnya pekerjaan dilakukan perempuan dilakukannya. Mula-mula tidak mau, kedati tak mau melihat Simbok Darni marah-marah ketika pulang kerja, sehingga makanan dan pekerjaan rumah sudah selesai dikerjakan. Agar hati Simbok Darni senang melihat pekerjaan rumahnya. Sebab tiada pekerjaan yang lain yang bisa Ridwan lakukan, kalau bukan meminta apa yang perlu di bantu kepada Simbok Darni. Sehingga pekerjaan rumah itulah yang dilakukan, karena biasanya Ridwan belajar dan tidak bisa mengerjakan apa-apa bila tidak diajari Simbok Darni. Simbok Darni yang habis pulang kerja mengurusi pekerjaan rumah. Hanya makanan yang membeli, dan sempat berteriaknya perut Ridwan yang menunggu makanan dari Simbok Darni yang datang.
            Pagi berangkat, siang pulang, sore berangkat,malam datang. Perjalanan Simbok Darni dalam menyampingkan pekerjaan sebagai tukang loper koran dan pengantar catering. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan, tidak punya warisan, sawah, binatang ternak bahkan suami. Hanya pekerjaan yang sudah ada didepan mata yang bisa ia lakukan. Itu juga karena tetangga dekatnya yang kasihan akan keadaan Simbok Darni. Hidup terlunta-lunta dengan bersiteguh pada alam. Pemikiran yang mendalam ketika Ridwan lulus dari SMP inginya Simbok Darni masuk ke SMK, Ridwan untuk tetap lanjut sekolah dan sekolah.
            “Pokoknya Wan, harus sekolah,sekolah.” Ucap Simbok Darni.
            “Mau masuk pakai uang dari mana Simbok? Untuk makan saja sulit, aku kan membantu simbok saja ya. Agar Simbok tidak kesel.”
“Pasti ada rejeki, kalau gak, Simbok akan berhutang ke bank titil, Akankah kau ingin hati Simbok lebih kesel lagi kalau kau tidak sekolah, mau seperti Simbok, tidak sekolah, tidak bisa baca dan tulis serta dapat pekerjaan seperti ini.”
“Terserah Simbok saja maunya gimana?”
Tiap malam tiada hari tanpa belajar, setiap siang tiada hari tanpa belajar, setiap sore tiada hari tanpa belajar. Keinginan Simbok yang ingin Ridwan sekolah lagi agar bisa berpendidikan tinggi, sehingga mencari pekerjaan tidak sulit. Tidak terlunta-lunta seperti Simboknya.
Mimpi kedua Ridwan, yaitu lulus dari SMP sangatlah membebani pengorbanan Simbok. Ridwan hanya bisa bermimpi, dalam mimpi penuh kepastian dan kenyataan. Rekaan yang tidak berlawanan dengan kenyataan.
Dengan segala niat dan usaha, Ridwan benar-benar ingin melihat Simbok bangga kepada dirinya. Pengorbanan Simbok tidak akan Ridwan sia-siakan begitu saja. Melihat Simbok yang sangat ambisius Ridwan untuk sekolah dan sekolah.
“Rejeki, mati, jodoh di tangan Allah, apa salahnya kamu berusaha.”
“Benar Simbok, aku juga ingin sekolah yang tinggi Simbok sampai kuliah.”
“Nah seperti itu, semangat karena itu juga akan memacu Simbok dalam mencari uang.”
“Simbok tidak apa-apa kan.”
“Tidak apa-apa, mungkin kambuh penyakit TBC Simbok.”
“Tidak diobati Simbok?”
“Tidak usah, nanti sembuh sendiri.”
Ridwan tidak ingin melihat Simbok bekerja dalam keadaan sakit. Terpaksa Ridwan mengambil alih pekerjaan Simbok. Dirinya tidak ingin penyakit Simbok lebih parah lagi. Hanya demi Ridwan sekolah yang tinggi Simbok merelakan membanting tulang hingga tak mengenal rasa sakit. Hanya berperan sebagai penjual loper koran dan pengantar catering,  dirinya merasa malu terhadap teman-temannya. Keluhan seperti itu kadang Ridwan lontarkan ke Simbok, namun Simbok hanya bilang kalau jangan malu bila melakukan pekerjaan yang halal, toh tidak mencuri. Dirinya dinasehati Simbok dengan penuh keiklhasan dalam mengabdikan dirinya pada Simbok. Malu tidak malu, ini adanya. Sekilas selalu memakan sayur bambu yang membuat dirinya tidak pernah mempunyai rasa malu lagi pada teman-temannya saat berjualan.
            “Kemana bapak, mengapa tidak membantu kita?”
            “Bapakmu kerja diperantauan.” Ucapan yang bohong dari Simbok.
            “Siapa namanya, kerja apa.”
            “Kasdi, bapakmu kerja sebagai buruh di kelapa sawit di Kalimantan.”
            “Kapan pulang, Mbok.”
            “Pulang tidak tahu pasti, sebab disana kerja kontrak mugkin saat kan datang.”
            Padahal di hati Simbok ingin mengatakan kalau bapaknya meninggalkan Ridwan dan Simbok beberapa tahun silam. Dengan pergi dengan wanita bekas PSK yang adiknya sendiri. Tika terperangkap oleh pergaulan teman-temannya, karena adiknya tidak mau hidup yang bersusah-susah dan ingin hidup enak, tapi diperoleh dengan cara yang tidak baik. Dengan cara yang dilakukan Kasdi dengan berbagai cara agar Tika bisa berhenti dari pekerjaan itu. Yang akhirnya di suruh kerja di kantornya sebagai sekretaris. Alhasil, malahan Kasdi malah terpicut dengan adiknya dan akhirnya Darni yang lagi mengandung Ridwan ditinggal begitu saja.
Waktu diatur sedemikian rinci, mulai pukul 03:30 dirinya bersiap-siap menanakan nasi untuk Simbok dan dirinya sendiri. Simbok yang masih tidur pulas sekali membuat langkah kaki dan gerak-gerik sedikit terhambat, takut akan mengganggu tidur Simbok. Seperti biasanya mulai pukul 05:00 setelah sholat subuh dirinya bersiap-siap antri untuk mengambil koran dari pengepul. Keutungan yang didapat tidak seberapa, hanya dari koran yang harganya Rp. 3.500,00 mengambil keuntungan Rp. 500,00. Memang sedikit bagi Ridwan, namun pekerjaan yang sangat mulia kata Simboknya.
Termanggu dalam lamunan dan impian yang tertunda, pikiran Ridwan yang menunggu untuk masuk sekolah lagi sudah dibuka untuk pendaftaran, sekolah yang baru buka 1 tahun sebagai sasaran utama bagi Ridwan.
“Melamun apa Wan.”
“Tidak ada Mbok, hanya mikir sakitnya Simbok.”
“Simbok tahu apa yang kau rasakan, dengar sudah dibuka pendaftaran untuk masuk sekolah. Tenang Simbok sudah menyiapkan uang.”
“Uang dari mana Simbok!”
“Tabungan dari hasil kerja.”
“Tidak Simbok belikan obat saja.”
“Penyakit Simbok sudah Reda.”
Dirinya diantar Simbok saat pendaftaran,  do’a penuh khidmad Simbok  lakukan. Dua minggu setelah pendaftaran akhirnya diumumkan siapa saja yang diterima. Dengan rasa yang berderu-deru. Ridwan menuju sekolahan dan melihat dirinya ada di daftar, dan pertanda bahwa dirinya masuk.
Mendengar berita itu Simbok sangat senang membuat penuh harapan dan ambisi. Sementara Simbok yang sudah lelah dalam mengelilingkan koran dan sedikit catering, membuat langkah Ridwan mengambilkan segelas air, tanpa olahan dan asli dari sumber sungai yang dibuat lubang. Penjualan catering kadang sepi, karena hanya pada acara tertentu   saja ramai akan pesanan, itupun diambil dari bosnya dan mendapat upah yang sedikit.
Selama menjalani sekolah, dirinya selain belajar juga membantu Simbok dalam berjualan koran dan mengantarkan catering. Semenjak sekolah di SMK ia selalu semangat membantu Simbok, setelah sekolah dan saat libur ia menemani Simboknya dalam berjualan. Ridwan sangat merasakan betapa susahnya mencari uang untuk membeli sesuap nasi. Dirinya mempunyai cita-cita setelah sekolah nanti ingin kuliah, dan bisa kerja yang layak agar bisa membuat Simbok tidak bekerja lagi sebagai loper koran dan pengantar catering. Cita-cita yang sangat berlawanan dengan kenyataan saja.
Hari-hari,bulan-bulan dan tahun-tahun ia telah lewati dengan Simbok. Bersusah payah Simbok mencari untuk biaya menyekolahkan Ridwan, awal-awal memang bisa membayar dengan uang simpanan, apalagi ia tidak pernah minta uang saku. Puasa senin kamis saja, begitu kata Simboknya. Di sekolah hanya buku yang menemani lapar dan rasa haus Ridwan saat hari-harinya. Tidak hanya puasa senin kamis namun juga puasa daud. Karena setiap hari kadang puasa kadang tidak seperti apa yang disunahkan para Nabi.
Di sekolahnya Ridwan sering mrngikuti lomba mewakili sekolahan, sehingga dirinya sering mendapat beasiswa. Waktu yang bersamaan sebelum waktu ujian akhir nasional. Sekolah memberitahukan bahwa ada beasiswa untuk sekolah lagi, artinya kesempatan untuk sekolah lagi bagi orang yang tidak mampu, namun berprestasi. Kegembiraan Ridwan begitu memuncak setelah mendengar info tersebut. Dirinya pun berantusias mengikuti beasiswa. Berbagai macam syarat-syarat ia kumpulkan. Karena yang diambil dari kelas hanya 5 anak. Dirinya berharap kesempatan itu bisa ia manfaatkan dengan baik. Simbok juga sangat senang mendengar kabar itu, Simbok menilai usaha yang dilakukan tidak sia-sia.
“Semoga kamu bisa kuliah Wan.”
“Amin... Simbok do’a kan terus ya.”
“Ya Wan... Simbok do’ain selalu, Simbok juga sholat malam terus kok.”
Keesokan harinya, ada info dari sekolahan melunasi pembayaran bagi yang belum lunas. Di detik-detik terahir mengakhiri sekolahnya ada satu permasalahan yang sangat ia sulit lalui,dari mana ia memperoleh uang untuk melunasi semua tunggakan dalam waktu dua minggu ini. Uang pembayaran tunggakan meliputi; uang gedung belum dibayar, uang buku-buku, uang praktek, dan uang daftar ulang. Ridwan binggung akan info seperti itu, sebab bagi yang belum melunasi tidak bisa ikut ujian nasional. Dengan rasa takut dirinya bilang kepada Simbok kalau ada pembayaran terahir lagi.
Simbok binggung tidak karuan, uang simpanan sudah habis untuk makan tiap hari. Simbok berupaya lebih giat dalam bekerja, namun hanya segitu uang hasil yang didapat dari kerja. Padahal Ridwan juga membantu Simboknya berjualan koran dan catering. Uang yang didapat hanya untuk makan saja. Ridwan putus asa. Sedangkan Simbok beruhasa mencari jalan keluar. Terpaksa berhutang kepada bos koran dan catering, akhirnya bisa. Uang yang di pinjam Simbok bisa melunasi tunggakan pembayaran Ridwan. Namun Ridwan binggung asal muasal uang yang didapat Simbok. Sebab dirinya bila bertanya selalu Simbok jawab, dari uang tabungan. Ia juga berfikir, Simbok sudah tidak punya simpanan uang.
Kebohongan Simbok selalu ditutupi dengan berbagai alasan. Simbok tidak mau Ridwan banyak fikiran tentang uang yang didapat. Kalau tahu pasti akan menggangu belajar Ridwan di detik-detik terakhir ujian akhir nasional.
Waktu luang sambil menunggu pengumuman kelulusan dan info beasiswa yang  sangat ia dinanti-nanti. Ridwan membantu Simbok. Karena Simbok penyakitnya kambuh terpaksa diambil alih lagi pekerjaan Simbok. Setiap harinya bekerja dan Simbok berdiam di rumah sambil istirahat. Teman-teman Ridwan sangat akrab memanggil dengan loper koran dan pengantar catering. Nyaman dengan pekerjaan itu. Setiap pagi ditemani dengan sepedah bututnya mengantar kemana-mana.
***
Memang tanpa diduga, kenyataan entah mimpi juga tertangkap di mata Ridwan. Dirinya lulus dari mimpi ketiganya  bisa lulus dari SMK. Mimpi ke empatnya juga sekilas muncul begitu Ridwan mendapat info bahwa dirinya keterima beasisiswa disebuah universitas negeri di Jember. Impian yang sangat luar biasa terlintas dalam penak Ridwan. Sambil mengantarkan koran dan catering berteriak kegirangan yang diumumkan kemana-mana dengan orang yang ia sambangi.
            “Aku keterima kuliah... Amin!!”
            Simbok lebih senang lagi, Sampai tetangga satu desa diberitahu kalau anaknya keterima kuliah. Sungguh tidak malu dan tidak merasa kesakitan dengan sakit yang ia derita.
            Mengawali semua itu Ridwan, sebelum masuk kuliah, ia mengikuti PK2 (pengenalan kehidupan kampus). Simbok masih membiayai lagi untuk uang saku berangkat ke Jember dengan meminjam kepada bos koran dan catering. Padahal uang pinjaman yang dulu belum Simbok lunasi. Karena senangnya Simbok mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh cuci. Yang pindah dari satu RT ke RT lain. Hanya untuk mengurangi beban hutang yang ia derita. Semampu mungkin Simbok mendapat pekerjaan tambahan memang bisa sedikit melunasi hutangnya.
            Sementara Ridwan yang dalam masa-masa PK2 menikmati segala kegiatan yang diadakan kampus. Tinggal di pondok sebagai tempat tinggal yang ia manfaatkan, pilihan dengan alasan karena murah, bisa mendapat ilmu dan barokah. Kegiatan yang berhari ia ikuti akhirnya selesai juga. Tubuh yang sangat lelah dan letih ia gunakan untuk istirahat di pondok, untuk menyongsong hari esok awal masuk perkuliahan dan awal masuk mahasiswa baru.
            Sebelum masuk awal perkuliahan ia pulang menemui Simbok. Di rumah menyapa Simbok tak ada balasan. Simbok yang berbaring di kamar selama 2 hari membuat Ridwan terpukul dan segera melarikan Simboknya ke RS. Kendala karena tidak memiliki kendaraan ia terpaksa meminjam milik tetangga. Tapi motor dipakai untuk kerja semua di hutan. Sehingga dirinya binggung harus pinjam kemana lagi. Berkeliling se desa dengan rasa yang mengebu-ebu ia akhirnya temuai pinjaman, yaitu pinjaman dari temannya waktu SMP dulu.
            Dengan secepatnya menuju rumah untuk mengambil Simbok. Muka Simbok yang sangat pucat,lemas tanpa tenaga memegangi perut Ridwan yang menuju RS. Di mana-mana RS tidak ada yang mau menerima mereka berdua. Dan terakhir ia ada pandangan satu RS dr. Subandi. Saat menuju  RS tidak disengaja dia menabrak seorang loper koran, perempuan tua. Ridwan yang terpental jauh namun tidak apa-apa hanya sebatas luka gores di tangan. Namun Simbok tidak sadar diri, Luka penuh darah yang mengalir membuat cemas dan binggung Ridwan,apalagi yang ditabrak terpental jauh yang langsung tidak sadarkan diri. para warga yang ada didekat tempat kejadian langsung beramaian datang dan meminta Ridwan untuk bertanggung jawab.
            Dibantu warga dibawalah Simbok dan perempuan tua itu ke RS dengan mobil yang lewat di tempat kejadian. Sementara Ridwan diamankan polisi, karena takut diamuk masa. Di kantor polisi Ridwan ditanya dengan berbagai macam motif mengapa menabrak Perempuan tua itu.
            “Karena Saya tergesa-gesa membawa Simbok saya yang sakit Pak!”
            “Apakah betul saudara saat lampu merah menerobos”
            “Ya Pak, sebab Simbok saya sudah kritis dan harus cepat dibawa ke RS, namun kemana-mana RS tidak ada yang mau menerima kita, nyawalah Pak.”
            “Tapi saudara tetap salah, melanggar tata tertib lalulintas.”
            Motor yang tidak dilengkapi dengan surat-surat bahkan SIM yang juga tidak punya, membuat dirinya binggung. Belum melihat Simbok di RS, belum korban yang ditabrak, belum mengurusi motor pinjaman yang ditahan polisi. Dengan mendapat pengawalan dari polisi dirinya melihat kondisi Simbok, dan korban yang ditabrak.
***
            Dilihatnya korban dan Simbok saling bercakap dengan begitu akrab. Membuat, setelah lama tidak paham akan percakapan mereka, Ridwan mencoba mendekat dan bertanya kepada Simbok, ternyata perempuan tua itu adalah teman Simbok Rusmi yang selama bertahun-tahun selalu bersama dalam menjual koran, sangat kenal betul kepribadian Rusmi. Anggapan bahwa ini adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak disengaja. Rusmi juga sering membantu Simbok saat korannya tidak habis, dibantu menjualnya. Rusmi sangat baik dan ringan tangan.
            Melihat diapitnya Ridwan oleh tubuh besar dan berbadan kekar yaitu polisi, membuat Simbok takut. Ketakutan itu dibendung oleh Rusmi. Saat meminta dengan jalan damai untuk menyelesaikan masalah ini. Namun polisi tetap akan membawa kasus ini ke kantor polisi. Sebab Ridwan sudah melanggar tata tertib lalu lintas. Ridwan memang mengaku salah. Simbok menangisi Ridwan saat dibawa kekantor polisi. Ridwan yang masih konsentrasi dalam menyelesaikan masalahnya di kantor polisi, sangat bimbang juga akan biaya yang harus ditanggung nantinya. Uang tidak punya. Tidak ada yang bisa membantu Ridwan. Hanya Simbok yang ia punya. Tetangga-tetangga juga berkehidupan sama, tidak mungkin minta bantuan kepada mereka.
            Dua hari lagi perkuliahan sudah memulai awal pelajaran baru, pikiran yang terus resah dan hati yang sangat sedih mendalam. Beban begitu berat baginya yang dihadapi sekarang, tidak mungkin Ridwan meninggalkan Simbok dalam keadaan berbaring di RS, dan tidak mungkin urusan dengan pihak polisi ia tinggalkan. Musnah sudah impian ke empat yang selama ini dieluh-eluhkan oleh Ridwan, bahkan Simbok yang lebih mendukung semua itu untuk Ridwan selalu maju kini berahir sia-sia. Impian Simbok untuk menjadi anaknya orang sukses dan bisa dapat pekerjaan tetap, kini hanya impian semata saja.
            Impian yang kini pupus dalam perjalanan yang sangat berat. Kini Ridwan di kantor polisi, Simbok di RS. Seseorang yang mendengar berita itu kini mencoba menebus Ridwan dan membiayai semua biaya RS Simbok. Ridwan tidak tahu siapa orang yang menolongnya, tapi dalam impian ke empat dirinya pernah bertemu dan digendong di sayang-sayang dan menolongnya saat terjatuh. Hanya Simbok yang tahu siapa dia. Orang yang sangat Simbok dambakan selama bertahun-tahun dan sangat Simbok cintai selama ini. Ridwan bebas dan menjenguk Simbok meminta restu. Karena Simbok telah dijaga oleh bapaknya Ridwan. Yang telah menyelesaikan semua masalah yang ada. Berpamitan juga dengan bapaknya untuk meraih mimpi keempat.

Komentar