- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Oleh: Edy Saputro Cahyo
Selamat pagi semua.
Aku
telah bangun tanpa meruap muka tanpa air. Muka kusam dan banyak lengkukan. Di
luar sana tukang-tukang pekerja sudah rame dan berkeringat. Aku duduk di depan
sarang dan melihat manusia-manusia yang sangat indah berkeliaran kesana-kesini.
Otak yang belum penuh masih tertutur diam. Wanita, lelaki berparas rapi mau
mencari ilmu. Aku masih duduk dan berdiam diri. Melihat sebelah kanan ada
manusia yang sama seperti langit yang dipijat-pijat, mungkin pergelangan leher
terlalu kaku dan sedikit pusing. Tiba-tiba ada suara dari arah pembangunan
kantin yang memanggil aku,
“He, ada kopi tidak di sarangmu,.”
“Belum ada, ada kopi tidak ada air
Pak Mar”
Oo
Pak Marsono, lagi sibuk merangkai kelistrikan untuk kantin yang dalam tahap
akhir pembangunan. Pak Mar bekerja sendiri dan memakai baju katelpak. Baju
kelistrikan waktu dia sekolah di SMK. Aku masih saja duduk di tempat yang tadi.
Melihat kran yang tidak ada tetesan mata air, berarti air sedikit terhambat.
Kalau seperti ini, tidak menutup kemungkinan di jeding juga tidak ada air. Dalam
sarang juga tidak ada air, sejenak aku tenggok ke sarang tetangga. Meminta
sebotol air untuk menetralisir keadaan tubuh, agar otak dapat berfikir jernih.
Berganti
baju, yang semula celana pendek warna coklat dan baju lengan pendek berwarna hijau. Celana panjang aku
kenakan dengan banyak sobekan tepat di bokong. Kaos yang aku kenakan adalah kaos
olahraga lengan pendek pula.. Tepat di punggung tertulis jelas namaku. Sehingga
semua orang yang melihat aku pagi ini, akan tahu aku bernama siapa. Tidak sulit
untuk mengenalkan diri ke publik yang sangat acuh kepada orang miskin. Kata
burung pleci aku, orang miskin selalu susah hidupnya, seperti aku ini. Burungku
bilang seperti itu terhadapku.
Perut
lapar ini membuat aku berjalan menuju tempat yang strategis. Melewati kaum-kaum
intelektual, katanya burung pleciku. Aku diam dan tidak malu lewat dan di
pandang banyak mata. Memang penampilanku
sedikit aneh dan membuat orang akan terpojok melihatku. Aku melihat ada rembulan
yang sudah ada di hutan ini, seperti hidup pagi ini akan indah. Aku menuju ke
warung Mak No, setelah aku sampai di sana. Aku memesan nasi biasa, nasi yang
tanpa lauk pauk yang tidak mewah. Karena
burung pleciku bilang aku miskin.
Tidak
di sengaja, di bangku sebelah luar sudah nongkrong Pak Miskin. Diam dan memecuk
asap rokok ke luar mulut. Di temani secangkir kopi susu, dan laptop untuk
membaca. Aku mencoba gabung. Biar tidak ada kesalah pahaman. Kalau aku duduk
bersama kaum-kaum yang rapi, jelas aku akan dikibuli karena aku miskin. Ya,
pasti aku menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Makan
dan ngomong sudah biasa, ngobrol dan ngopi setiap hari. Cerita dan sedikit adu
ilmu kemiskinan jarang-jarang, bukan.
Setelah
sesampainya aku kembali, aku langsung duduk dan bersnatai di dekat gawang yang
di taruh di dekat sarang. Aku memompa rokok yang kerap membuat imajinasiku
bermunculuan melihat alam.
Rokok
habis, aku langsung memengang gitar dan aku suarakan lagu-laguku yang sedikit
penggong. Lagu-lagu yang tercipta dari sebuah adaptasi lingkungan. Ide dari
mereka-mereka yang semaunya sendiri, tanpa melihat orang miskin. Katanya
seperti itu.
Aku
telah binggung merangkai kata apa lagi. Karena aku telah binggung dengan
keadaan pagi ini. keadaan yang sedikit membuat aku gelisah. Gelisah karena
sebuah surat yang sudah aku layangkan. Seakan aku telah mencurahkan isi surat
itu, dan diketahui secara jelas. Kapan aku akan mengindar darinya. Dari alam
dan manusia yang ada di sini.
Sudahlah
aku akan mencoba berbaring dan melepaskan jari-jemariku dari ejaan huruf,
Selamat
pagi.
Komentar
Posting Komentar