Manusia Samin


Oleh: Edy Saputro Cahyo

Kenalilah jiwa dan fikiran yang abstrak. Putar jantung hingga denyutannya semakin cepat. Masukan fikiran dalam sebuah kehidupan baru yang lebih indah. Ajaran tetap akan melekat dalam tubuh seseorang dan darah daging. Manusia datang kebingungan menafsirkan interaksi nyata. Anak cucu yang diberikan kebebasan membuat pengecualian terhadap hidup yang dijalani bertahun-tahun. Satu ombak tsunami keluarga melawan ajaran secara diam-diam mengalihkan ajaran baru. Mati siap disandang melawan ajaran, dan bisikan suar-suar telah dicetuskan di warung-warung. Kedaulatan hidup, memilih dan dipilih demi sebuah kebebasan. Anak cucu yang menggenggam kehidupan masa depan.


Warna hitam adalah kesakralan untuk manusia Samin. Seluruh penutup tubuh serba dengan warna hitam. Manusia Samin yang menganggap dirinya adalah kebenaran yang telah abadi. Adat yang selalu memukau perhatian burung-burung emprit. Jauh dari keramaian dengan ketentraman milik sendiri. Telah lama bersinggah dan membuat pemukiman dengan ala sekedarnya. Perkataan diutamakan untuk petuah-petuah yang mencungkal setiap keturunan. Hasil pertanian dibuat transaksi jual beli. Kesimpulan ajaran belum dijadikan pedoman selamanya untuk hidup. Dikarenakan kehidupan telah banyak menyelinap dalam ruang dan waktu, beriringan dengan nasib kehidupan. Berjuang memerangi jaman selama bertahun-tahun, menemukan jati diri yang akan kekal abadi dalam kehidupan yang layak. Adaptasi lingkungan dengan kenyataan tak diubahnya tafsir mimpi. Harapan yang selalu dianut dihianati kaum sendiri yang telah membuat keputusan dan dogma sepanjang jaman.  Darah daging yang menceruap di sekeliling dahi terbukti tidak untuk ditaati. Tak tertulis jelas dengan bahasa dan semboyan yang berteori filsafat.
Kehidupan manusia Samin di desa Jepang. Membuat kehidupan dari keturunan bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Peraturan ada dan dibuat tidak layak dipakai dalam keadaan hidup yang berbeda. Satu keluarga tidak sengaja tertitik oleh jejak Bagong melamun di sepanjang jalan membawa nasi  kotakan. Seorang anak petani, bukan keturunan manusia Samin. Dia berkunjung demi sebuah suruhan menyampaikan pesan simbolik. Memasuki hutan belantara dan menembus terjalnya jalan yang masih ditemui bebatuan runcing. Bertanya-tanya ke seluruh pojok warung-warung, orang lewat, dan orang berbaju hitam, siapa lagi kalau bukan manusia Samin. Bagong terponggoh gelisah belum juga menemukan alamat yang telah tertera dalam tulisan di kertas selembaran yang dikantongi. Ditempelnya dengan pelekat nasi, karena sesekali lepas tangan.  Nama yang tertera Marjo Kusumo. Semua orang yang ditanya, selalu berkelok tidak mengetahui. Jauh Bagong melumpuhkan langkah di warung pojok terakhir. Dia tidak sengaja bahwa warung itu adalah warung tongkrongan manusia Samin. Istirahat sejenak akan membuat segala kebingungan Bagong terlepas.
Warung yang ramai dengan kaum-kaum tua. Merokok dan mengelus jenggot serta kumis tebalnya. Kaki diangkat terletak di kursi panjang. Depan wajah tertiup semerbak kopi pahit. Hitam kelam dan hitam pekat, seperti warna tubuh yang telah Bagong lihat saat itu juga. Kebinggungan telah terbawa angin yang melewati celah-celah cendela warung. Bagong memulai pembicaraannya dengan kaum yang tidak dia ketahui.  Memesan kopi dan menyelundupkan sebatang rokok ke dalam mulut yang banyak berucap di sekeliling jalan, hanya untuk bertanya. Nasi kotakan ditinggalkannya di atas sepeda motor buntut yang telah membawa Bagong melewati jalan yang terjal. Mendung menyambar membuat Bagong cemas memulai sebuah pertanyaan.  Orang-orang tua itu ada tiga, sibuk dengan pembicaraan ngalor-ngidul yang tidak Bagong mengerti. Si Mbok penjualan kopi menyibukkan dirinya pula di dapur, jarak terdekat Bagong bertanya hanyalah kepada orang-orang tua itu.  Dia memberanikan diri untuk mengeluarkan kata yang telah membuat dia tersesat dalam jarak yang cukup jauh.
Bagong            : Nyuwun Sewu, Pak kulo ajeng tangklet. Bapak ngertos dhaleme Bapak Marjo Kusumo desa Jepang.
Orang Tua 1  : Emange ape golek opo Le?. Goleki omahe Pak Marjo.
Bagong            : Niki kulo dikengken Pak Yoto saking deso Alang-alang maringake pernoto.
Orang Tua 1   : ooo. . . ngunu Le. Omahe Pak Marjo cedake omahe Pak Mandor Kiman. Mburi omahe enek gang, teruso mesti teko. Omahe Pak Marjo ngarepe enek wet ringene gede banget.
            Bagong          : O nggeh suwun. Niki Pak udhut.
Bagong dengan sudah memberanikan dirinya, pada akhirnya tahu dimana alamat rumah Pak Marjo. Waktu dia mengali informasi tak lekas cepat meninggalkan warung. Kopi yang masih utuh karena panasnya terlihat dari uapannya. Apalagi Bagong juga masih mempermainkan asap. Befikirnya dia sedikit mengobrol dan membuat perkenalan diri. Sambil menawarkan rokok yang telah dikantongi di saku belakang. Justru dia kecewa. Anggapnya ditawari rokok, pastinya diambil satu dan dinyalakan dengan korek. Namun yang terjadi berbeda. Orang Tua 1  mengambil semua  rokok yang baru dibelinya ketika memasuki daerah ini. Bagong menyempatkan membeli rokok dan mengisi bensin. Baru dihempaskannya 2 batang rokok. Berarti tinggal 10 rokok dalam bungkus diambil semua. Bagong tercenggang dan melihat kejadian aneh dalam warung Si Mbok yang dijuluki Mbok gendut, karena dia tidak mengenal dan memanggil dengan Si Mbok saja. Walapun dalam fikirnya terlitas tentang orang tua yang meraja lela. Jatah rokok yang dari Pak Yoto yang seharusnya tadi Bagong keluarkan. Tetapi rokok yang masih utuh terletak di dalam jok motor. Tak berkutik dan dia menyerahkan asap sedap ke orang-orang tua. Nyarisnya lagi, korek yang ada di dekat Bagong diambil dengan sekejap saja. Jadi dia ke warung menyumbangkan rokok dan korek secara tidak ikhlas. Pertanyaan yang dilakukan Bagong juga sudah terjawab, sepenuhnya orang tua itu hanya berfikir dalam kehidupan kata adalah harta yang melimpah ruah. Si mbok warung keluar melayani pembayaran kopi dari orang-orang tua.  Setelah orang tua keluar, dia sempat terpapas oleh lamunan. Dia tersadarkan dengan api yang menjalar di batang rokok yang sudah sampai akhir batas. Tersengatlah Bagong, dan menjerit kekacaun gerak. Langsung Si Mbok warung mendatangi menyapa dan mengertak Bagong. Bagongpun terdiam dan berbalik tanya kepada Si Mbok.
Bagong            : Si Mbok, tiyang-tiyang wau sing pinarak teng mriku dhek wau sinten?.
            Si Mbok          : Dek mau iku wong samin Le, emange diapakne wakmu?.
            Bagong          : Wau kulo nawari udhut, kajobo dibetho sedoyo lan korek ipun.
Si Mbok            : Woalah Le, Le, emang ngunu iku. Iku wes corone wong samin. Dadi wakmu nek mrene maneh, wes gak usah ngetoke rokok maneh. Simpen wae nang njero sakmu.
Bagong             : Nggeh pon Mbok, la kulo mboten sumerepi. Nggeh pun pinten kulo, kopi ireng mawon.
            Si Mbok          : Yo Le!. 1000 Le, gak tambah opo-opo.
            Bagong          : Mboten Mbok kopi mawon. Niki Mbok.
            Si Mbok          : La wakmu ape nengdi?. Koyok kok gowo sego kotakan akeh.
            Bagong          : Niki Mbok ngater-ngater pernoto saking Pak Yoto deso Alang-alang
Si Mbok             : Yo le, la ape diwehne sopo wae. Kok adohmen Alang-lang tekan kene.
            Bagong          : Pak Marjo desa Jepang. Ibu ngertos dhaleme Pak Marjo Kusumo?.
Si Mbok             : Woalah edak iki Le!. 100 meter kiro-kiro wes tutuk.  Mburi omahe mandor Kiman pas.
            Bagong          : Nggeh pon, Maturnuwun. kulo pareng rumiyen Mbok.
            Si Mbok          : Yo podo-podo Le.
Bagong melanjutkan perjalanan menuju rumanya Pak Marjo. Gang kecil dilewatinya dengan tangguh. Tepat masuk pematang sawah yang ukuranya pas satu sepeda saja. Melaju kencang tanpa terpingkal lubang-lubang kepiting di tengah jalan. Tiba di rumah Pak Marjo. Dia menyapa berkali-kali, suasana sepi, tetapi tidak ada yang menyapa ulang. Dia menunggu duduk di emperan rumah yang ada bayangannya. Membuka jok dan meniupkan asap rokok jatah. Dia masih terfikirkan dengan rokok yang berbau asap segar telah dirampas orang-orang tua di warung. Tetapi kini dia sudah menemukan rokok baru, walaupun asapnya tidak sesegar rokok yang direbut. Kali ini dia melihat lelaki bertubuh kekar sedang mengangkat kayu sendiri. Tubuhnya hitam dan berotot. Betis dan lengannya besar. Menakutlan sekali. Bagong melihat dan menyapanya. Lelaki itu membantingkan kayu yang dipapah di atas kepala, dilemparkannya ke tanah.
***
            Bagong diajak masuk ke dalam rumah. Rumah besar penuh dengan kayu penyangga yang besar pula. Tidak ada batu bata ataupun semen yang membuat mewah. Kemewahan rumah kayu apa adanya, justru membuat rumah mewah kalah. Duduk dan terdiam manis. Rokok tidak lagi dikeluarkan. Walaupun sebenarnya Bagong ingin merokok, dan sedikit tertahan dengan takut ada kejadian seperti di warung.  Laki-laki tua datang menghampiri Bagong.  Menanyakan apa yang Bagong inginkan.
            Pak Marjo       : Enek opo Le, goleki aku.
Bagong             : Niki Pak Marjo, panjenengan angsal pernoto saking bapak Yoto desa Alang-alng
Pak Marjo       : OO yo Le, Pak Yoto enek gawe opo?.
Bagong          : Sunatan Pak.  Nggeh pon kulo tak langsung wangsul rumiyen.
Pak Marjo       : Lo Ngosek le, kadung wes digawekne teh kok.
Bagong          : Nggeh Pak marjo.
Bagong duduk dan berdiam diri menunggu teh yang telah dibuat, lelaki kekar tadi. Dia bernama Teguh anaknya Pak Marjo. Anak laki-laki yang dimiliki Pak Marjo dari tiga bersaudara. Bagong memulai mengobrol dengan enak dengan ditemani secangkir teh. Mulutnya yang kecut memaksa dia mengeluarkan rokok yang ada dalam sakunya. Dia juga menawarkan ke Pak Marjo dan Mas Teguh. Istri Pak Marjo dan Istri Mas Teguh beserta satu cucu sedang mengambil sayuran di tegalan di penghujung hutan, sehingga Pak Marjo sore itu dan Mas Teguh sendiri. Mas Teguh juga baru sampai rumah dengan membawa sebongkok kayu bakar.
Percakapan terlalu lama, Pak Marjo mengambil dan menyala rokok yang diberikan Bagong, begitupun Mas Teguh. Bagong selaku orang yang merasa kebingungan dengan kejadian yang di warung, lantas cepat ia katakan dan bertanya kepada Pak Marjo. Namun kenyataannya pertanyaan yang dilontarkan Bagong semua dijawab oleh Mas Teguh. Tentang manusia Samin. Mas Teguh menjelaskan bahwa diri dan keluarnganya adalah keturunan samin. Bertahun-tahun keluarga ini mengikuti aliran samin. Hingga 4 turunan keluarga Pak Marjo tetap bertahan dengan adat dan keyakinan yang dianut.  Tidak ada salahnya Mas Teguh sebagai lelaki yang kekar. Membuat pengecualian terhadap permasalahan yang dihadapi. Manusia samin yang dijadikan panutan selama hidup, kini merubahnya untuk dapat berfikir dan melihat kenyataan yang ada. Bagong bergetar ketakutan dalam diri, seakan dia salah masuk kandang dan mempertanyakan kejadian di warung. Mas Teguh menjelaskan dengan luwes menceritkan semua kepada Bagong. Mas Teguh mengatakan berbeda, berbeda dengan manusi-manusia yang di warung.
***
Pertama adalah keyakinan yang Mas Teguh dan keluarga anut sebelumnya tidak jelas, memang pengakuan semua manusia samin berkeyakinan kepada Nabi Adam, tetapi pada kenyataan dan sesungguhnya adalah Nabi Muhammad. Agama memanglah sama seperti yang dikatakan Mas teguh. Mas Teguh membuat seluruh keluarganya tidak terseret jauh kepada ajaran yang telah dipahaminya bertahun-tahun. Dia beserta keluarga besarnya mulai keluar sedikit demi sedikit mencari jati diri yang sesungguhnya. Sebab selama dia hidup tidak pernah melihat kejadian yang diajarkan selalu benar, semua melenceng dari sebuah aturan yang terucap.
Perlu digaris bawahi, Mas Teguh menjelaskan ini semua tidak berdasarkan ajaran yang telah dijalani, tetapi dianggap adalah ajaran sesat atau tidak baik, tetapi mas Teguh berupaya melihat kejadian yang nyata. Apa yang telah ada seharusnya selalu diikuti dan selalu ditaati. Bukan menyali aturan yang ada. Kedua, adalah adat yang seharusnya dalam sebuah perkawinan melewati ijab dan qobul terlebih dahulu, tetapi keluarga ini diajarkan budo yang artinya di adu karo udo (di adu dengan telanjang dalam sebuah kamar), adalah level pergelutan tubuh yang terpaksa dilakukan sebelum melakukan sebuah pernikahan. Padahal jelas, kepercayaannya Nabi Adam, tetapi melakukan hal seperti itu.
Ketiga , Masyarakat dilarang berdagang. Tetapi kenyataannya semua anak cucu berdagang dan dibiarkan secara leluasa. Bagong yang tidak mengetahui semua itu mendesak untuk mengetahui segalanya. Sebab semua sudah terlanjur diceritakan Mas Teguh. Memang selayaknya dia harus terus terang kepada Bagong. Mas Teguh sering menjumpai di warung dan saling bercakap dengan takutnya membawa identitas ataupun hal-hal yang telah diajarkan. Kalau kena manusia samin yang bernama Mas Teguh, semua terdiam dan mengelakan demi menyelamatkan pertanyaan yang akan dilontarkan Mas Teguh. Seakan Mas Teguh berani mati, karena sudah dengan beraninya melawan ajaran yang ada. Tetapi Mas Teguh, berpegang teguh pada sebuah acuan ketiga tentang berdagang, kalaulah dalam ajaran samin dilarang berdagang dan anak cucunya diperbolehkan. Berarti tidak akan pernah salah langkah yang akan diambil segenap keluarga Mas Teguh terkait menjalani hidup dengan berbeda, dengan ajaran yang telah dilakukan. Mas Teguh akan menyerang balik dengan kebebasan adalah milik anak cucu.
Keempat, dalam urusan menyumbang di acara pernikahan, sunatan, dan sebagainya. Melarang manusia samin menyumbang berupa barang, tetapi uang. Namun sebaliknya ketika manusia samin yang mempunyai acara, harus menyumbangkan sebuah barang. Permainan ekonomi membuat Mas Teguh membuat perlakuan dan mengecam  hanya untuk selalu mencari keuntungan, semua tidak seimbang.
Kelima, ketika sholat matahari selalu dikejar. Kalaupun matahari berada di timur sholat akan menghadap ke timur, sebaliknya kalau matahari berada di barat sholat menghadap ke barat. Mas Teguh sungguhlah terkejut menjalani ini semua, mencoba hidup layak seperti manusia normal. Bagong mendapatkan pengetahuan yang lebih terkait dengan hal-hal yang membuat binggung kejadian di warung. Pak Marjo juga berkata, bahwa setiap ada orang yang meninggal di masyarakat samin, hanya satu kali dibancaki. Untuk 7 hari, 40 hari, 100 hari , 1000 hari dan habis-habisnya tidak ada. Lagi-lagi terkait masalah perhitungan ekonomi yang rinci.
Suasana sore dan mendung menandakan berakhirnya percakapan anatara Bagong dan keluarga Pak Marjo. Yang dirasakan Bagong terhadap keluarga Pak Marjo sungguhlah berbeda dengan orang-rang yang ada di warung. Walaupun tetap menganut ajaran samin, keluarga ini memncoba untuk memposisikan dirinya sebagai anak cucu untuk kebebasan berkehidupan. Bagong juga mendapat ilmu yang sekiranya tidak ada dalam bangku kuliah di kandang sapi. Pekerjaan mencari rumput setiap pagi dan sore, merawat sapi-sapi, hingga membuang tahi. Perjalanan Bagong diakhiri dengan mengucap sebuah rasa terimakasih terhadap keluaraga Pak Marjo.
***
Perjalanan pulang, rokok tetap dalam saku. Lepas dia pulang dalam perjalanan dia juga harus membuat acuan tersendiri tentang berkehidupan. Kalaupun Bagong dapat mematuhi aturan negara, kenapa negara tidak dapat mengikuti aturan yang dimiliki Bagong. Setiap hari bekerja sebagai tukang sapi dijalani bertahun-tahun. Tetapi apa yang perlu dirubah dari acara memelihra. Bagong selalu dijarakan dalam keluarga Pak Marjo, melangkahkan kaki sedikit saja tidaklah apa-apa, sebab dalam sebuah langkah entah baik atau tidaknya dapat dirasakan. Tetapi yang utama adalah sebuah kebaikan berkehidupan. Melihat situasi yang ada dan membuat pengecualian sendiri, itulah yang selama ini Bagong pelajari dalam sebuah perjalanan ke desa Jepang.  Nasi kotakan yang Bagong bawa memiliki isi kajian ilmu yang menuai pengalaman hidup tidak melihat pada satu sisi. Lihatlah sisi yang lain, benarkah, perlu koreksikah.
Bagong melamun dan berhenti sejenak membuat pengecualain diri. Bahwa dirinya adalah Bagong, bukan bingung menghadapi segala sesuatu yang mudah. Hidup untuk maha hidup. bukan untuk sapi dan untuk segala sesuatu yang kebahagiaannya tertindas aturan. Lamunan panjang di iringi rokok yang masih tersisa banyak. Melihat pemandangan di sebuah bukit-bukit yang indah. ketenangan dan pelajaran dalam perjalanan yang bising menakutkan Bagong alami sendiri.

Alang-alang, 6 Desember 2014
Sebuah cerita pendek yang  terlahir dari sebuah kenyataan. Dari tokoh Bagong semuanya terungkap dengan seksama, kejanggalan yang selama bertahun-tahun di jalani keluarga Pak Marjo. Dalam penggunaan nama semua disamarkan. Apalagi membawa nama tentang manusia samin, memang ini sebuah kenyataan. Sedikit penulis membumbui dengan imajinasi dan fiksi yang berangkat dari kenyataan.


Komentar