- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Oleh:
Edy Saputro Cahyo
Kamis
lalu, saya menemui wajah baru pada rapot
jaman kini. Nilai berupa angka kini tidak disertakan dalam sebuah lembar per
lembar rapot. Di Desa Sumberangung sendiri yang kedua orang tuanya berlatar
belakang perangkat desa tidak memahami maksud isi rapot. Tepat saya berada disebelahnya
beliau bertanya, “apa maksud dari isi rapot ini dek” tuturnya. Saya sendiri
juga tidak paham, apakah ini yang
dimaksud dengan kurikulum pendidikan karakter. Guru-guru memberikan nilai dari
pandangan tingkah laku dan kesehariannya. Menurutku sendiri, pendidikan ini
merepotkan. Bagaimana bisa begitu?. Kalau kedua orang tuanya dapat membaca ya
tidak akan menjadi sebuah masalah. Namun, apabila kedua orang tuanya tidak
dapat membaca dan tahunya hanya sebuah angka, justru akan mempersulit kedua
orang tua untuk lebih menilai perkembangan anaknya dari hasil sekolah.
Ada
12 mata pelajaran, anggaplah seperti itu. Berarti ada 12 uaraian deskripsi dari
semua mata pelajaran. Tidak menutup kemungkinan, kedua orang tua yang buta
huruf akan meminta bantuan ke tetangga untuk membacakan hasil rapot anaknya
atau hasil rapot dibacakan sendiri oleh anaknya. Apa ini tidak lucu. Bisa saja
anak dalam membaca akan dibaikan biar mendapat pujian dari orang tua. Kebinggungan
yang terjadi di masyarakat tentang kurikulum baru memberikan efek negatif. Hal ini
yang dikatakan pendidikan karakter, membuat kedua orang tua binggung
kesana-kesini bertanya tentang hasil rapot anaknya.
Padahal,
saat aku bertanya pada ibu Komariah perangkat desa tadi. Sekarang anak ibu
kelas berapa dan kapan mulai menerima rapot seperti itu?. Ibu Komariah bertutur
“Anak saya kelas 4 dan tiga tahun yang lalu nilai ya hanya angka, kalau seperti
ini saya binggung menilai kekurangan anak saya tentang sekolahnya”. Perlu dihapuskan
pendidikan karakter ini, tidak akan cocok dipergunakan di masyarakat kalangan
bawah, membuang-buang waktu saja.
Komentar
Posting Komentar